Panggung ini indah hingga aku bingung memilih topeng
setiap wajah tersenyum, tapi matanya saling menilai
setiap tawa terdengar hangat, tapi dingin saat disentuhdi sini, kejujuran dianggap nekat
dan kepalsuan disambut dengan tepuk tangan panjang
kita belajar menyembunyikan letih dengan cerita lucu
menutup luka dengan pencitraan yang rapiaku pun ikut menari di tengah cahaya
berganti topeng sesuai adegan, bahagia, sukses, bijak, tegar
padahal di balik layar, aku hanya ingin menjadi penonton
ingin melepaskan semua peran, dan diam sejenak melihat diriku sendirinamun panggung ini terlalu ramai untuk kejujuran
dan terlalu sunyi untuk kebenaran yang polos
jadi aku tetap berdiri, dengan topeng yang paling pas hari ini
bukan karena aku suka berpura-pura,
tapi karena dunia ini tak selalu siap menerima wajah tanpa rias.Nubi Hiraeth
Kita semua pernah belajar cara tersenyum di saat hancur, cara berbicara ringan di tengah sesak, cara tertawa agar dunia percaya kita baik-baik saja. Mungkin karena di zaman ini, kejujuran terasa terlalu telanjang. Dunia tidak suka melihat luka terbuka, jadi kita belajar menutupinya dengan gaya, dengan tawa, dengan topeng yang menipu bahkan diri sendiri.
Setiap hari, kita berperan. Ada versi dirimu untuk pagi hari, versi lain untuk pertemuan, versi lain lagi untuk dunia maya. Dan perlahan, kita lupa yang mana wajah asli di antara semuanya. Cermin tak lagi memantulkan diri, melainkan potongan peran yang saling bertabrakan. Kita memolesnya dengan keberhasilan, menambalnya dengan kesabaran, menutupnya dengan kata-kata “aku bisa,” padahal hati tahu kita rapuh.
Kadang aku iri pada orang yang masih berani tampak lelah. Yang masih sanggup menunduk tanpa merasa kalah. Sebab di dunia ini, lelah sering disalahpahami sebagai kelemahan. Kita diharuskan terus tampil kuat, padahal kekuatan pun bisa jadi bentuk lain dari kepura-puraan.
Dan saat malam datang, panggung akhirnya sepi. Tak ada tepuk tangan, tak ada mata yang menilai. Hanya ada kita sendiri, dengan wajah yang mulai terasa asing. Aku menatap cermin, dan wajah di sana menatap balik dengan tatapan yang tak lagi kukenal. Ada sesuatu yang hilang. Mungkin kejujuran. Mungkin diriku sendiri.
Mereka bilang, hidup adalah proses menemukan jati diri. Tapi bagaimana jika selama perjalanan itu, kita terlalu sibuk berpura-pura hingga lupa wajah yang dicari? Mungkin itu sebabnya banyak dari kita rindu pulang, tapi tak tahu ke mana. Kita bukan mencari rumah, tapi mencari wajah yang pernah jujur wajah yang dulu sederhana, sebelum dunia mengajarkan bagaimana caranya menyembunyikan duka dengan elegan.

0 Komentar