Di Bawah Langit yang Tidak Selalu Biru

 


"Kita adalah cuaca yang terus berubah di dalam kepala masing-masing. Dan tidak apa-apa jika hari ini kamu mendung." 

Aku duduk di balik jendela, menatap langit yang seperti menatap balik. Tidak marah. Tidak bahagia. Hanya diam, seperti tahu bahwa aku juga sedang tidak ingin menjelaskan apa-apa. Mendung tak pernah berisik. Ia datang diam-diam, lalu tinggal begitu saja. Aku tak tahu sejak kapan, tapi hari itu aku merasa awan di luar lebih jujur daripada aku sendiri.

Seseorang mengirim pesan:

"Bagaimana harimu? Apa benar di sana mendung, seperti langitku yang diselimuti awan tebal?" 

Aku membacanya berkali-kali. Bukan karena ragu menjawab, tapi karena aku merasa ada sesuatu yang dalam sekali bersembunyi di balik pertanyaan itu. Seolah seseorang sedang mengatakan, "Aku juga sedang tidak baik-baik saja, bisakah kamu temani meski hanya dengan diam?"

Dan aku mengerti. Aku pun sedang seperti itu.

Aku tidak baik-baik saja, tapi aku juga tidak ingin menjelaskannya terlalu panjang. Aku hanya ingin diam di bawah langit yang kelabu, tanpa ditanya kenapa, tanpa diminta kuat, tanpa dipaksa tersenyum. Karena di titik ini, rasanya tersenyum seperti pekerjaan penuh upaya, dan aku tidak punya cukup tenaga untuk berpura-pura lagi.

Aku ingat hari-hari saat langit bersinar terang, dan aku merasa baik. Tapi akhir-akhir ini, bahkan matahari terasa terlalu ramai. Terlalu terang. Terlalu memaksa. Dan aku ingin menyembunyikan diriku di balik bayang-bayang yang aman. Di balik mendung yang membiarkanku tidak menjelaskan. Tidak menjawab. Tidak berusaha menyenangkan siapa-siapa.

Ada hari-hari ketika aku ingin berbicara. Tapi hari ini bukan salah satunya. Hari ini aku hanya ingin mendengar dari langit, dari angin, dari suara hujan yang belum turun tapi sudah terasa. Dan aku merasa tenang di sana, di tempat yang jauh dari semua keramaian. Di tempat di mana tidak apa-apa menjadi sedikit lelah. Sedikit patah. Sedikit kosong.

Aku membalas pesan itu. Singkat saja:

"Ya, di sini juga mendung. Tapi mungkin, kita sedang diajarkan cara untuk diam. Untuk bertahan. Tanpa harus tahu kapan langit akan kembali biru."

Lalu aku kembali menatap keluar. Burung-burung masih terbang meski langit tidak cerah. Angin tetap berjalan meski matahari sembunyi. Dunia tidak berhenti walau kita sedang diam. Dan itu membuatku berpikir: mungkin aku juga bisa seperti itu diam, tapi tidak benar-benar hancur. Lelah, tapi masih ada.

Dulu aku selalu takut hari mendung. Takut sendu, takut sendiri, takut sunyi. Tapi kini, aku mulai berdamai. Sebab tidak semua yang sunyi itu buruk. Kadang, justru di dalam sunyi, kita akhirnya bisa mendengar diri sendiri lebih jujur.

Aku mendengar pikiranku hari ini berkata:

“Kamu boleh tenang. Kamu boleh tidak menjelaskan. Kamu boleh menjadi langit yang kelabu, dan tetap indah dalam caramu sendiri.”

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku percaya.

Aku duduk lebih lama. Hanya memandangi langit, awan, pepohonan yang tak bergerak. Tidak ada hal besar terjadi. Tapi entah kenapa, itu cukup. Kadang kita tidak butuh hal-hal megah untuk merasa hidup. Kadang, cukup tahu bahwa kita masih bisa merasa, meski hanya sedikit. Bahwa kita masih bisa duduk tenang, meski hari ini tidak berisi apa-apa selain diam.

Waktu berjalan pelan. Tapi aku tidak terburu-buru. Tidak ada yang harus dikejar hari ini. Tidak ada yang harus dibuktikan. Dan itu terasa seperti hadiah yang tak pernah aku minta, tapi sangat aku butuhkan.

Langit tetap mendung.

Dan untuk hari ini, itu tidak apa-apa.

Terimakasih : 

Ditulis dalam diam yang panjang.
Untuk siapa pun yang sedang merasa mendung.
Kamu tidak sendiri.

Nubi Hiraeth 

0 Komentar