Apa Benar Aku Baik-baik Saja?
Coba katakan padaku.Bagian mana aku tak hebat.Pura-pura bahagia aku bisa. Pura-pura baik-baik saja aku juga bisa.Katakan padaku.Bagian mana aku tak kuat. Menahan diri agar tak menangis dan mengeluh aku bisa.Menahan bilur-bilur luka yang menyayat tiap bagian hatiku aku sanggup.Lalu, bagian mana aku tak kuat?Aku bisa menahan diri untuk tak mengutuk semesta bahwa aku lelah.Aku bisa mengunci biraiku untuk tak bercerita kepada bulan dan malam bahwa aku sakit.Aku sanggup menahan air mata ku walau dia ingin keluar menyuarakan perasaanku detik itu. Aku bisa, aku sungguh bisa. Menipu semuanya aku bisa.Tapi apa benar aku baik-baik saja?.
Menjadi Kuat di Tengah Luka
Ada sesuatu yang begitu dalam dan menyentuh dalam setiap kata puisi di atas. Ia berbicara tentang kekuatan, tentang menahan diri, dan tentang kebisuan yang dipilih meski hati tengah bergemuruh. Namun, puisi ini juga mempertanyakan: benarkah kekuatan itu nyata? Ataukah hanya topeng untuk menutupi luka yang enggan diungkapkan?
Seringkali, dalam kehidupan, kita diajarkan untuk menjadi kuat. Kita diminta menahan tangis, menahan keluh, bahkan menahan rasa sakit. Dunia menganggap mereka yang mampu berdiri tanpa air mata sebagai pemenang, sebagai seseorang yang hebat. Tapi, di balik itu semua, pertanyaannya tetap sama: apakah menjadi kuat berarti mengabaikan rasa sakit?
Topeng yang Dipakai Banyak Orang
Baris "Pura-pura bahagia aku bisa. Pura-pura baik-baik saja aku juga bisa," mencerminkan realitas banyak orang. Berpura-pura bahagia seolah menjadi bahasa universal untuk menyembunyikan kesedihan. Kita tersenyum di depan orang lain, berkata "tidak apa-apa" meskipun hati terasa sesak. Kita takut menunjukkan kelemahan karena dunia kerap menghakimi mereka yang mengaku lelah.
Namun, apakah salah untuk mengakui bahwa kita lelah? Tidak. Karena setiap manusia memiliki batas. Kekuatan sejati bukanlah tentang menyembunyikan rasa sakit, melainkan tentang keberanian untuk menghadapi dan menerimanya.
Menahan Luka: Kekuatan atau Beban?
Puisi ini juga menyuarakan tentang kemampuan menahan diri. Menahan tangis, menahan keluh, bahkan menahan luka yang menyayat hati. "Aku bisa menahan diri untuk tak mengutuk semesta bahwa aku lelah." Kalimat ini menggambarkan perjuangan yang begitu keras, seolah-olah mengeluh adalah dosa besar. Padahal, mengeluh adalah cara manusia melepaskan beban.
Menahan diri memang membutuhkan kekuatan, tetapi apakah menahan semuanya sendirian adalah pilihan yang sehat? Luka yang tak diungkapkan akan tetap tinggal, mengendap di hati dan mungkin menjadi racun.
Apakah Aku Baik-Baik Saja?
Pertanyaan terakhir dalam puisi ini—"Tapi apa benar aku baik-baik saja?"—adalah klimaks dari semua perjuangan yang diceritakan. Sebuah pertanyaan sederhana namun sarat makna. Jawaban dari pertanyaan ini sering kali sulit dijawab, karena kita cenderung mengukur kebahagiaan dan kekuatan dari apa yang dilihat orang lain, bukan dari apa yang kita rasakan.
Mungkin inilah saatnya kita belajar untuk jujur pada diri sendiri. Mengakui bahwa kita tidak baik-baik saja bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk keberanian. Keberanian untuk menerima bahwa kita adalah manusia, yang berhak merasa lelah, berhak menangis, dan berhak meminta bantuan.
Refleksi dari Puisi
Puisi ini bukan hanya rangkaian kata, melainkan cermin bagi banyak jiwa yang tengah bertarung melawan luka dan rasa sakit. Ia mengajarkan kita bahwa menjadi kuat tidak selalu berarti harus menahan semuanya sendiri. Terkadang, kekuatan sejati adalah saat kita berani membuka diri, meminta pertolongan, dan menerima bahwa tidak apa-apa untuk merasa tidak baik-baik saja.
Jadi, kepada siapa pun yang merasa serupa dengan puisi ini: istirahatlah sejenak. Jangan paksakan diri untuk terus pura-pura baik-baik saja. Temukan tempat di mana kamu bisa melepaskan segala beban. Karena kamu berhak untuk merasa ringan, bebas, dan dicintai apa adanya.
Penutup
Berpura-pura bahagia mungkin terasa lebih mudah dibandingkan menghadapi kenyataan, tetapi itu bukanlah solusi yang bertahan lama. Setiap manusia memiliki hak untuk merasakan kesedihan, menunjukkan kelemahan, dan meminta bantuan tanpa harus merasa malu. Topeng kebahagiaan hanya akan menjauhkan kita dari diri sendiri dan orang-orang yang benar-benar peduli.
Beranilah untuk melepaskan topeng itu, meski perlahan. Izinkan diri Anda jujur kepada dunia, terutama kepada diri sendiri. Karena kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam kepura-puraan, melainkan dalam penerimaan bahwa menjadi manusia berarti merasakan segala warna emosi—bahagia, sedih, lelah, dan segalanya di antaranya.
Tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja, karena itulah bagian dari perjalanan menjadi utuh.
Ingatlah, menunjukkan kelemahan bukan berarti Anda lemah. Justru, itu adalah tanda keberanian. Beranilah untuk membuka diri, meskipun hanya kepada satu orang yang Anda percayai. Siapa tahu, dari sana, Anda akan menemukan kekuatan baru yang selama ini Anda cari.
Apa yang akan Anda lakukan hari ini untuk sedikit melepaskan topeng itu? Tuliskan jawabannya, atau renungkanlah sejenak. Perjalanan menuju kebahagiaan sejati dimulai dari langkah kecil seperti ini.
Sekian dari Saya Hiraeth, terimakasih.

0 Komentar