"Kehilangan mengajarkan kita untuk menghargai apa yang pernah ada, dan kesepian mengajarkan kita untuk menemukan kekuatan dalam diri sendiri." –nubi hiraeth"Di balik tabir sepi, aku duduk bersama bayang-bayang kehilangan, merangkai kalimat yang terasa seperti daun-daun gugur di musim yang tak pernah berakhir. Setiap kata yang kutoreh adalah titik air mata yang jatuh diam-diam, membasahi kertas kenangan yang rapuh. Kehilangan itu seperti angin malam, datang tanpa suara, namun meninggalkan dingin yang merasuk hingga tulang. Dalam sunyi, aku belajar bahwa rindu adalah puisi yang tak pernah selesai, setiap barisnya adalah napas yang tersengal, mencari wajah yang kini hanya hidup dalam mimpi.
Kesepian adalah lautan kelabu tempat aku mengarungi gelombang-gelombang kenangan yang tak pernah reda. Di sini, aku menulis kalimat-kalimat yang mencoba menangkap esensi kehilangan, namun selalu terhenti di tepi rasa yang tak terucapkan. Setiap huruf adalah jejak langkahku di pasir waktu, yang segera dihapus oleh ombak penyesalan. Aku merangkai kata demi kata, seolah-olah dengan itu aku bisa memanggil kembali apa yang telah pergi, meski tahu bahwa yang hilang hanya akan menari dalam bayang imaji.
Ada luka yang tinggal di sudut hati, diam namun berbisik, mengingatkanku pada kehilangan yang telah membentuk siapa aku kini. Dalam kesunyian malam, aku menenun kalimat-kalimat puitis yang mencerminkan retak-retak jiwa, berharap menemukan makna di balik kekosongan. Kehilangan mengajarkanku bahwa cinta, meski telah pergi, meninggalkan jejak yang abadi, seperti bintang yang redup namun tetap berkelip di langit kelam. Dan di antara baris-baris ini, aku menemukan bahwa sepi adalah sahabat setia, yang mengajarkan untuk mencintai diri di tengah reruntuhan.
Kalimat-kalimatku adalah lentera kecil di kegelapan, berusaha menerangi jalan yang telah lama ditinggalkan. Kehilangan adalah guru yang keras, mengajarkanku untuk menghargai setiap detik kebersamaan yang kini hanya tinggal bayang. Dalam sunyi, aku mendengar gema suara-suara yang dulu hangat, kini hanya bergema di relung jiwa. Aku menulis, bukan untuk melupakan, tetapi untuk merangkul luka itu, menjadikannya bagian dari puisi hidupku yang penuh dengan nada-nada melankolis, namun indah dalam ketidaksempurnaannya.
Elegi Sunyi
Di tepi malam yang kelabu,
Aku menulis pada langit yang bisu,
Kehilangan bagai daun yang gugur,
Melayang, tak pernah kembali utuh.Rindu menari di ujung kelopak mata,
Menetes diam, tak pernah berkata,
Namun dalam sepi, aku mendengar,
Gema cinta yang tak pernah pudar.Oh, sunyi, kau sahabat setia,
Mengajarku merangkul luka dengan hati yang penuh,
Dalam setiap baris, aku temukan cahaya,
Meski redup, ia tetap menyala.
Dalam sunyi yang merangkul, aku belajar bahwa kehilangan bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan untuk menemukan makna dalam luka. Setiap kalimat yang kurangkai adalah upaya untuk merajut kembali benang-benang jiwa yang tercerai, menciptakan tapestri kehidupan yang penuh warna meski diwarnai melankoli. Kesepian, meski kelam, adalah cermin yang memantulkan kekuatan untuk bangkit, untuk mencintai kembali, dan untuk menulis puisi-puisi yang lahir dari hati yang pernah patah. Di ujung renungan ini, aku menemukan bahwa dalam setiap kehilangan, ada puisi yang menanti untuk dilantunkan, dan dalam setiap sepi, ada harapan yang berbisik lembut.

0 Komentar