12 April 2025
Di satu titik, aku duduk memikirkan banyak hal tentang pencapaian, tentang masa depan, tentang jalan hidup yang belum sepenuhnya terlihat. Di kepalaku, masa depan masih hitam putih. Belum ada warna yang menetap, belum ada garis yang pasti. Tapi aku mencoba. Mencoba berpikir bahwa suatu saat nanti, akan ada jalan yang membawaku pada palet warna terbaik: indah, elegan, dan mungkin... menghangatkan.
Namun, tak ada yang benar-benar bisa menjanjikan bahwa dunia akan baik-baik saja. Tidak tanpa nahkoda yang hebat. Tidak tanpa kapal yang kuat. Sebab badai tidak memilih siapa yang ia hempas; ia hanya datang, mengguncang apa pun yang mengapung di atas samudra kehidupan.
Sayang sekali, nahkoda itu telah terhempas. Terbangun di sebuah pulau kecil, dikelilingi puing-puing kapal yang dulu pernah kukemudikan dengan penuh semangat. Aku menatap reruntuhan itu, mencoba merakitnya kembali. Satu per satu. Potongan kayu, lempengan besi, tali-temali yang sudah nyaris putus. Aku memilahnya: adakah bagian yang masih bisa digunakan?
Ternyata, sebagian besar telah hancur. Rapuh. Karatan. Mustahil, pikirku. Tapi tekad sering kali menolak menyerah pada logika. Maka aku merangkai yang tak lagi utuh. Membangun dari serpihan yang seharusnya ditinggal. Kadang, aku berhenti. Menatap hasil rakitanku yang jauh dari kata sempurna. Kapal kapalku tidak lagi sekuat dulu. Tapi ia berdiri.
Aku memandanginya lama, lalu bergumam pelan,
"Aku mampu merakitnya kembali... tapi bekas luka masih jelas terlihat dari sini."
Dan aku tahu, mungkin memang tak perlu menyembunyikan luka itu. Mungkin, luka itulah yang membuatku tetap berjalan. Maka kuputuskan naik ke atas kapal. Bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi untuk tetap melaju. Entah ke mana. Mungkin ke pulau yang selama ini hanya ada dalam mimpi. Atau mungkin aku akan terdampar lagi, di tempat yang tak kusangka. Tapi setidaknya... aku tak berhenti di sini.

0 Komentar