Eksploitasi Seksualitas di Media Sosial: Siapa yang Sebenarnya Dieksploitasi?


Penghasilan mereka dalam satu bulan bisa mencapai 15 hingga 20 juta rupiah. Artikel ini, akan membahas sesuatu yang sudah menjadi rahasia umum, tapi jarang dibicarakan secara terang-terangan: bagaimana perempuan di media sosial terutama di TikTok rela mengumbar tubuh demi engagement.

Joget penuh gairah, angle kamera yang sensual, pakaian yang menonjolkan bagian tertentu kita semua tahu tujuannya: mencari perhatian. Setelah perhatian datang, engagement naik. Setelah engagement naik, follower bertambah. Dan setelah follower bertambah, pintu terbuka lebar bagi uang untuk mengalir masuk. Ini bukan fenomena baru, ini bisnis. Dan dalam bisnis ini, yang dijual bukan hanya konten, tetapi juga daya tarik seksual


Fenomena Seksualitas sebagai Komoditas

Fenomena ini sangat terlihat di platform seperti TikTok dan Instagram, di mana perempuan secara sadar menggunakan daya tarik tubuh mereka untuk meningkatkan visibilitas digital. Joget sensual, angle kamera yang menonjolkan bagian tubuh tertentu, hingga pakaian yang provokatif menjadi alat pemasaran yang efektif. Meningkatnya engagement berujung pada pertumbuhan pengikut (followers), yang pada akhirnya membuka peluang monetisasi melalui berbagai skema bisnis digital.

Namun, apakah ini murni bentuk eksploitasi perempuan oleh sistem patriarki? Ataukah perempuan juga memiliki agensi dan secara sadar mengeksploitasi daya tarik seksual mereka sendiri untuk keuntungan pribadi? Artikel ini akan mengupas dinamika eksploitasi seksualitas di media sosial dari berbagai perspektif: ekonomi digital, psikologi, serta dampak sosial yang ditimbulkannya.

Di dunia aku, sex before marriage adalah hal yang wajar. Tapi aku tahu, di dunia beberapa dari kalian, mungkin tidak. Yang jelas, kita harus jujur mengakui bahwa menjual birahi pria itu menguntungkan. Nafsu selalu laku di pasaran, dan banyak perempuan menyadari hal itu.


Perempuan Korban atau Pemain?

Selama ini, narasi yang sering muncul adalah perempuan sebagai korban eksploitasi. Perempuan dianggap dieksploitasi oleh sistem patriarki yang hanya melihat mereka sebagai objek seksual. Narasi ini sering kita dengar dalam kasus prostitusi dan industri hiburan. Mungkin ada benarnya, tapi itu hanya separuh cerita.

Jika kita ingin melihat secara lebih adil, kita juga harus mengakui satu hal: perempuan pun tahu cara mengeksploitasi nafsu pria demi keuntungan mereka sendiri. Ini bukan lagi kisah klasik di mana pria kaya memanfaatkan tubuh perempuan. Kini, perempuan juga ikut bermain dalam permainan yang sama. Mereka paham bagaimana algoritma media sosial bekerja, tahu bahwa pasar terbesar adalah pria yang mudah tergoda, dan mengerti bahwa tubuh bisa lebih cepat menghasilkan uang dibandingkan skill atau intelektualitas.

Kita bisa lihat banyak contohnya: joget seksi di TikTok, ASMR dengan suara bisikan menggoda, foto-foto sensual dengan caption yang pura-pura polos tapi jelas penuh kode, hingga terang-terangan menjual video dewasa atau bahkan prostitusi online. Ini bukan sekadar ekspresi diri atau kebebasan berkarya ini strategi pemasaran. Target nya jelas: pria yang mudah terpancing nafsunya.

Sigmund Freud pernah berkata bahwa manusia digerakkan oleh dorongan bawah sadar, termasuk dorongan seksual. Dan di era digital ini, dorongan itu dieksploitasi habis-habisan. Pria mudah tergoda, perempuan sadar akan hal itu, dan industri digital memfasilitasi pertemuan keduanya.

Dulu, kita mengenal konsep male gaze, di mana dunia dipandang dari perspektif pria, sehingga perempuan selalu ditampilkan sebagai objek. Namun, kini perempuan juga memanfaatkan male gaze untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka tahu pria suka melihat tubuh perempuan, jadi mereka menampilkan diri dengan cara yang menarik bagi pria.

Ini bukan eksploitasi sepihak. Ini dua arah. Pria butuh hiburan visual, perempuan butuh engagement dan uang. Terjadi simbiosis mutualisme, meskipun dalam bentuk yang kurang bijak.

Tentu, ada yang mengatakan, "Ini salah pria, kenapa gampang kepancing?" atau "Ini salah perempuan, kenapa mau mengumbar tubuh?" Tapi kalau kita melihatnya secara lebih luas, keduanya berada dalam sistem yang saling memanfaatkan. Pria membeli fantasi, perempuan menjual daya tarik seksual mereka. Ini adalah hukum ekonomi dasar: supply and demand.

Masalahnya, fenomena ini terjadi karena di dunia digital, atensi adalah mata uang baru. Kini, bukan hanya barang dan jasa yang bisa dikonversi menjadi rupiah, tetapi juga perhatian, exposure, dan engagement.


Atensi Adalah Mata Uang Baru

Dulu, seseorang harus memiliki keterampilan atau pencapaian untuk terkenal. Sekarang, tubuh saja sudah cukup. Media sosial mempercepat fenomena ini karena algoritma mereka didesain untuk memanjakan keinginan manusia yang paling dasar. Konten sensual lebih cepat viral, lebih banyak dikomentari, dan lebih sering dibagikan.

Ini bukan teori konspirasi, melainkan fakta ilmiah. Sejak zaman kuno, daya tarik seksual selalu menarik perhatian. Bedanya, dulu yang memanfaatkannya adalah industri besar, sekarang siapa saja bisa ikut serta.

Kini, perempuan bisa membangun brand mereka sendiri, mengatur strategi pemasaran sendiri, dan menjual apapun dengan tubuh mereka sendiri.

Yang jadi masalah adalah, fenomena ini menciptakan standar baru yang mengkhawatirkan. Kini, banyak perempuan melihat ini sebagai jalan pintas. Daripada susah-susah kuliah, kerja, dan membangun karier, lebih mudah buka akun media sosial, joget sedikit, dan dapat endorsement. Kenapa harus bekerja keras jika tubuh bisa menjadi aset?

Ini bukan hanya berlaku di kalangan tertentu. Bahkan remaja pun mulai sadar bahwa menjual tubuh lebih cepat menghasilkan uang dibandingkan kerja kantoran.

Aku bukan ingin mengatakan bahwa ini dosa, itu pembahasan lain. Tapi kita harus sadar bahwa fenomena ini mengubah dinamika sosial. Seksualitas di media sosial kini menjadi barang murah.

Pria semakin terbiasa melihat perempuan hanya dari sudut pandang nafsu. Perempuan semakin terbiasa melihat diri mereka sebagai alat transaksi.

Yang paling berbahaya adalah generasi muda tumbuh dengan mindset bahwa harga diri diukur dari seberapa banyak engagement yang bisa mereka dapatkan dari tubuh mereka sendiri. Ini bukan hanya soal uang, tapi juga soal bagaimana media sosial mengubah pola pikir generasi kita.

Validasi kini datang dari jumlah like dan komentar (yang sering kali mesum). Ketenaran bukan lagi soal kontribusi, tapi seberapa menggoda tampilan kita di layar.

Dan inilah kritik utamanya: kenapa kita selalu menyalahkan satu pihak saja?

Selama ini, kita sering melihat perempuan sebagai korban sistem. Tapi kita jarang mengakui bahwa perempuan juga memiliki kesadaran dan sering kali ikut serta dalam eksploitasi ini secara sadar.

Bukan berarti pria tidak bersalah. Tapi kita harus jujur bahwa kedua belah pihak bermain dalam sistem yang sama.


Jadi, siapa yang sebenarnya mengeksploitasi siapa?

Apakah perempuan dieksploitasi pria dengan uang? Ataukah pria dieksploitasi perempuan melalui nafsunya?

Keduanya sama-sama mengeksploitasi. Perempuan menjual daya tarik, pria membeli dengan atensi dan uang. Tidak ada yang sepenuhnya korban, tidak ada yang sepenuhnya pelaku. Yang ada adalah sistem digital yang membuat semua orang ikut bermain dalam siklus yang sama.

Dan sialnya, selama engagement masih bisa dikonversi menjadi uang, selama algoritma masih mendukung eksploitasi ini, dan selama nafsu masih menjadi komoditas paling mudah dijual, fenomena ini tidak akan berhenti.


Kesimpulan: Akankah Ini Berhenti?

Selama atensi masih bisa dikonversi menjadi uang, selama algoritma masih mendukung eksploitasi birahi, dan selama nafsu tetap menjadi komoditas paling mudah dijual, fenomena ini tidak akan berhenti.

Yang perlu dipikirkan bukan sekadar menyalahkan satu pihak, tetapi bagaimana kita bisa menciptakan sistem yang lebih sehat, di mana nilai seseorang tidak hanya diukur dari daya tarik fisik mereka.

Fenomena ini bukan hanya masalah moralitas, tetapi juga masalah bagaimana media sosial membentuk cara kita berpikir dan berinteraksi di dunia digital.



 

0 Komentar