Mencari Rumah dalam Kediaman Matamu, Puisi tentang Keberadaan dan Kebebasan

Img by pinterest 

CUKUP KAMU SAJA  

Aku benci rumah
yang kerap menerkamku
yang berharap mahligai dibalik tubuhku; hanya demi sebuah sorakan kemenangan seakan akulah cawan antik—paling berharga

belum juga bisa
: sebab muakku disorot nyalang mata dan tak suka hanya dibangga

inginku pergi dan berumahkan
dirimu, tak perlu beberapa mahal diantaranya, cukup kamu saja.

detik ini bahkan bermenit-menit
saat ini bahkan berlarut-larut
esok hari bahkan berabad-abad
—di kediaman matamu kusanggup
menjadi lebih dari tenang,
tak ada lagi sinar harap yang menekan,
:hanya senyum cerah spontan kala candaku tak terlalu lucu, cukup menenangkan

semestinya harus lebih dulu
kutemukan, kamu diantara beribu
kasih sayang, yang saat ini kudamba
; tak lupa kurindukan

bila rumahku hancur oleh sebab
matiku lebih dulu, maka termanis
dari semua hal itu, hanya seluruhmu.

Karya puisi dari  ——bellakharisma

Dalam karya ini, terdapat pencarian makna tentang rumah, bukan sekadar sebagai tempat fisik, tetapi juga sebagai simbol kenyamanan dan penerimaan. Rumah, yang seharusnya menjadi tempat berlindung, justru berubah menjadi penjara emosional bagi si aku lirik. 

Namun, dalam kebebasan dan ketulusan cinta, ditemukan rumah yang sesungguhnya. Artikel ini akan membahas bagaimana puisi ini mengungkap perasaan tersebut melalui simbolisme dan diksi yang kuat.


Rumah sebagai Simbol Penjara dan Harapan Palsu

Puisi ini dibuka dengan pernyataan yang tajam: “Aku benci rumah / yang kerap menerkamku”. Rumah, yang umumnya diartikan sebagai tempat berlindung, dalam konteks ini justru menjadi penjara emosional. 

Penyair menekankan bagaimana rumah bukan lagi tempat nyaman, tetapi ruang yang menekan dan penuh ekspektasi. Ini semakin diperjelas dengan baris “yang berharap mahligai di balik tubuhku; hanya demi sebuah sorakan kemenangan” seakan-akan keberadaan si aku lirik hanya diukur dari pencapaian atau kebanggaan semu yang diproyeksikan oleh orang lain.

Ketidaksukaan terhadap rumah semakin dalam dengan ungkapan “belum juga bisa: sebab muakku disorot nyalang mata dan tak suka hanya dibangga”. Terdapat penolakan terhadap eksistensi yang hanya dijadikan objek kebanggaan, tanpa adanya penghargaan terhadap keberadaan sejati si aku lirik.


Mencari Rumah dalam Sosok Seseorang

Dalam puisi ini, rumah tidak hanya diartikan sebagai tempat tinggal fisik, tetapi juga sebagai representasi kenyamanan emosional dan spiritual. Sosok seseorang yang dicintai menjadi rumah sejati bagi si aku lirik, tempat di mana ia menemukan ketenangan dan penerimaan tanpa syarat. 

Hal ini menegaskan bahwa keberadaan rumah tidak selalu bergantung pada bangunan atau lingkungan, tetapi pada hubungan manusia yang mendalam.

Di tengah perasaan muak terhadap rumah, muncul keinginan untuk pergi dan menemukan rumah yang baru: “inginku pergi dan berumahkan dirimu”

Tidak ada syarat mewah atau kemewahan lain yang dibutuhkan, cukup keberadaan seseorang yang dicintai. Ini menggambarkan bagaimana rumah bukan sekadar bangunan fisik, melainkan tempat di mana seseorang bisa merasa aman dan diterima.

Bagian ini diperkuat dengan bait yang penuh kelembutan: “di kediaman matamu kusanggup menjadi lebih dari tenang”. Mata di sini melambangkan penerimaan, kenyamanan, dan kebebasan dari tekanan sosial. Ketika semua ekspektasi luar menghilang, hanya senyum spontan yang memberikan ketenangan sejati.


Tragedi dan Harapan dalam Cinta

Img by pinterest


Puisi ini ditutup dengan refleksi yang menyiratkan kemungkinan tragis: “bila rumahku hancur oleh sebab matiku lebih dulu”. Ada kesadaran bahwa kehidupan fana, dan rumah yang kini membelenggu mungkin akan hancur suatu saat. Namun, meskipun itu terjadi, yang paling berharga bukanlah materi, melainkan “seluruhmu” keberadaan orang yang dicintai.

Kesimpulannya, puisi ini bukan hanya sekadar tentang rumah, tetapi juga tentang pencarian makna dalam hubungan manusia. Rumah sejati bukanlah bangunan yang mewah atau sekadar status sosial, melainkan tempat di mana seseorang bisa benar-benar merasa diterima dan tenang. Dalam kisah ini, rumah itu ditemukan dalam mata seseorang tempat di mana cinta dan kebebasan sejati bertemu.

Puisi ini menggambarkan perjalanan emosional seseorang dalam mencari makna rumah yang sejati. Rumah bukan sekadar bangunan fisik atau tempat yang diwariskan secara turun-temurun, melainkan ruang di mana seseorang merasa diterima, nyaman, dan bebas dari ekspektasi yang menekan. 

Dalam pencarian ini, rumah ditemukan bukan dalam materi, tetapi dalam kehangatan hubungan dengan seseorang yang dicintai. Melalui simbolisme yang kuat, puisi ini menegaskan bahwa rumah sejati adalah tempat di mana cinta dan kebebasan bertemu, menciptakan ruang yang aman bagi jiwa.. 

Ada kesadaran bahwa kehidupan fana, dan rumah yang kini membelenggu mungkin akan hancur suatu saat. Namun, meskipun itu terjadi, yang paling berharga bukanlah materi, melainkan “seluruhmu” keberadaan orang yang dicintai.

Kesimpulannya, puisi ini bukan hanya sekadar tentang rumah, tetapi juga tentang pencarian makna dalam hubungan manusia.

Rumah sejati bukanlah bangunan yang mewah atau sekadar status sosial, melainkan tempat di mana seseorang bisa benar-benar merasa diterima dan tenang. Dalam kisah ini, rumah itu ditemukan dalam mata seseorang tempat di mana cinta dan kebebasan sejati bertemu.


Sekian terimakasih ✨

 

0 Komentar