"Apalagi yang bisa dilakukan selain ikhlas,bukankah dari awal luka ini adalah khilaf yang ku pilih sendiri?."
Aku duduk di tepi ranjang, menatap kosong pada lantai yang dingin. Di luar, malam berbisik pelan lewat angin yang mengetuk jendela. Segalanya terasa hening, tapi di dalam dadaku, ada suara yang tak pernah benar-benar diam.
Aku mencoba mengingat kembali bagaimana semuanya bermula. Aku yang mengambil langkah itu. Aku yang membiarkan hatiku terbuka. Aku yang memilih percaya, meski tahu ada kemungkinan dikhianati.
Aku yang menutup mata terhadap tanda-tanda, berpura-pura tak melihat kenyataan yang sebenarnya sudah terpampang jelas.
Kini, luka itu ada di sini. Menyatu dengan detak nadiku, mengakar di ingatan. Tapi, apakah aku berhak menyalahkan siapa pun selain diriku sendiri? Bukankah dari awal ini adalah khilaf yang kupilih sendiri?
Aku bisa marah, bisa menyesal, bisa menyalahkan dunia, tapi untuk apa? Semua itu tak akan mengubah kenyataan.
Luka ini bukan sesuatu yang ditorehkan oleh orang lain tanpa izinku. Aku yang mengizinkannya. Aku yang menggenggam pisau dan membiarkan diriku terluka.
Luka yang Kupilih Sendiri
Jadi, apalagi yang bisa kulakukan selain ikhlas?
Mungkin, inilah caraku belajar. Bahwa tak semua yang kita inginkan akan berakhir bahagia. Bahwa ada keputusan yang harus dibayar dengan air mata. Bahwa cinta tanpa pertimbangan bisa menjadi bumerang yang melukai diri sendiri.
Aku menarik napas panjang, membiarkan udara memenuhi rongga dadaku. Lalu perlahan, aku hembuskan, bersama sisa-sisa sesal yang masih menggantung di dalam hati.
Besok, aku akan bangkit lagi. Luka ini akan tetap ada, tapi ia bukan untuk diratapi. Ia adalah pengingat, bahwa aku pernah memilih, pernah terluka, dan pada akhirnya, aku juga yang harus menyembuhkan diri sendiri.

0 Komentar